Pada saat ini, bisnis atau wirausaha semakin menjadi pilihan masyarakat
sebagai mata pencarian mereka. Aktivitasnya yang tidak monoton dan tidak
mengikat seseorang menjadi alasan utama orang-orang menekuni profesi wirausahwan.
Para pekerja kantoran pun beralih terjun total ke dunia wirausaha karena kata
mereka lebih menjanjikan. Banyak pihak yang mendapat keuntungan dari
menjamurnya dunia wirausaha ini; perekonomian berkembang, pengangguran
berkurang, dll. Ada pula pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan tren positif
ini menjadi makelar, sebagai fasilitator antara wirausahawan dengan konsumennya
atau pedagang besar dengan pedagang kecil. Menurut tinjauan syariat, sebenarnya
sahkah atau bolehkah seseorang menjadi makelar? Simak pembahasannya berikut
ini.
Abu Hamid Al Ghazali Asy Syafi’i mengatakan, "Muhammad bin Sirin, salah
seorang ulama generasi tabi’in, memakruhkan profesi sebagai makelar. Demikian
pula Qatadah, ulama generasi tabi’in, memakruhkan upah yang didapatkan dari
profesi makelar.
Pendapat semacam ini muncul, kemungkinan besar dikarenakan dua alasan:
-Pertama, para makelar itu sulit sekali terhindar dari dosa dusta dan
berlebih-lebihan dalam memuji barang dagangan yang dia makelari agar laris
terjual.
-Kedua, kerja sebagai makelar itu tidak terukur kadang pontang-panting kadang
tidak, sedangkan besaran komisi sebagai makelar itu biasanya tidak melihat
kerjanya namun melihat harga barang yang dimakelari dan ini adalah kezaliman.
Seharusnya besaran upah itu menimbang tingkatan rasa capek yang didapatkan si
makelar untuk melariskan barang dagangan.
0 komentar:
Posting Komentar